Sebagai bangsa yang kreatif, sudahlah kita jangan sekedar reaktif terus. Bukankah kita memang kurang "open" (jawa) terhadap milik kita sendiri? Inovasi anak bangsa seperti singkong mukibat (temuan pak Mukibat), ikan mujair (rekayasa pak Mujahir) tak banyak dikenal karena tidak ada publikasi. Di bidang bahasa saja kata "berdikari" yang kreasi bung Karno justru dipakai tetangga sementara kita lebih suka menggunakan istilah asing seperti independen atau self sufficient.
Nah, momentum penetapan batik sebagai World Heritage milik bangsa Indonesia oleh Unesco adalah saat yang tepat untuk kembali menjadikan batik sebagai kebudayaan yang hidup dan terus berdenyut menafasi seni, pendidikan, ekonomi, bukan semata dokumentasi yang mati.
Bukankah ternyata remaja kita memiliki elan kreatif yang mengagumkan, seperti Anda lihat dalam gambar ini. Siswa SMK Negeri 3 Jember merayakan hari itu dengan ciptakarya batiknya.