Tetralogi Laskar Pelangi memang fenomenal. Bukunya bisa menjadi kompetitor Harry Potter, filmnya menghidupkan kembali gedung bioskop yang menggrik-menggrik dan terpaksa memutar film hantu, horror dan hot agar bisa hidup. Dan karena buku itu tiba-tiba saja ribuan anak Indonesia bahkan orang-tua menjadi penggila bacaan. Luar biasa.
Seri terakhir yang ditunggu-tunggu, Maryamah Karpov pun akhirnya terbit setelah ditunggu dengan penuh harap oleh ribuan pembaca. Tiga judul sebelumnya saya peroleh sebagai hadiah ulang tahun dari menantu, teman, dan keponakanku. Ternyata seri terakhir yang lagi-lagi merupakan hadiah dari seorang sahabat, melengkapi koleksi saya. Dicetak dengan bulkpaper, enteng tapi kuat. Harganya, lumayan juga ya.
Tulisan Andrea memang memikat. Caranya menggambarkan karakter tokohnya unik, pemahamannya tentang tumbuhan dan hewan, musik yang kaya.
Baru sampai pada bagian awal, Andrea sudah membuat saya tersengat. Ya, tersengat! Ia mulai kisah itu dengan promosi jabatan ayahnya sebagai tukang cuci pasir timah. Ayahnya dengan karakternya yang khas (dan menurun padanya) sedang mengalami kebahagiaan luarbiasa karena akan memperoleh promosi jabatan. Begitu rupa Andrea melukiskan perasaan ayahnya ketika bergegas ke tempat kerja menghadapi saat yang amat bersejarah itu. Dan begitu tragis akhir dari sekuen itu, dimana sang mandor akhirnya datang minta maaf karena kesalahan teknis. Ayahnya tidak mendapat promosi karena kuli yang tidak berijazah tidak akan naik pangkat.
Sangat menyentuh disini adalah, bahwa ayahnya tidak larut dalam kesedihan, bahkan tegar dan menghadapi hidup dengan pikiran jernih.
Hhhhh! Ambil nafas sebentar, ya.
Andrea pasti bukan seorang guru, tidak berurusan dengan kenaikan pangkat, tak berurusan dengan istilah Pengatur, Penata, Pembina dalam kepangkatan guru apalagi sertifikasi. Bagian awal kisah ini pasti tidak dimaksudkan atau bahkan samasekali tak ada hubungannya dengan proses sertifikasi yang sedang berlangsung di negeri ini.
Mungkin karena bersifat pribadi, kisah ini merefleksikan karir saya dan (tentu) banyak teman saya senasib. Tereleminasi seperti kuli tambang timah tadi karena ijazah tidak memenuhi kualifikasi. Puluhan tahun dedikasi, prestasi, kreasi tiba-tiba terkena devaluasi menjadi tak bernilai. Tak usah lagi bertanya tentang apa makna Pengatur, Penata dan Pembina karena selama itu hanya tertera dalam SK dan tak mengindikasikan apa-apa selain angka-angka (yang tak seberapa). Portofolio, menjadi istilah keren. Seminar mendadak laris. Semuanya instan karena bisa dibuat instan. Apa karena ngurusi yang instan saja maka diberi nama instansi?
Baiklah, saya mencoba belajar dari ayah Andrea Hirata yang menyalami kuli-kuli yang naik pangkat. Tatapan matanya bening, kepalanya tetap tegak. Saya mencoba tidak berfikir apa setelah promosi para kuli menjadi semakin penuh dedikasinya, inovasinya meningkat dalam mencuci pasir timah. Atau bahkan sebaliknya semakin konsumtif , beli hape, motor, perhiasan, karena gajinya bertambah.
Jika saatnya datang, Tuhan tak ingkar janji, apalagi soal rezki.
Di Maryamah Karpov kearifan itu kutemukan. Lagi-lagi ini soal pengalaman pribadi. Siapa saja boleh tertarik aspek yang mana saja dari novel ini.